BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 12 Juli 2013

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3 Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dalam pembahasan budaya, setiap ilmuwan berbeda dalam hal definisi. Namun satu hal yang pasti adalah budaya adalah kumpulan dari karya manusia untuk memanusiakan manusia. Sehingga tujuan budaya itu sendiri adalah menjunjung tinggi hakekat manusia dan kemanusiaan yang menyertainya. Menyambut peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional pada 12 Januari s.d. 12 Pebruari 2013 yang dicanangkan pemerintah, tema besar yang diusung adalah BUDAYAKAN K3 DISETIAP KEGIATAN USAHA MENUJU MASYARAKAT INDUSTRI YANG SELAMAT, SEHAT DAN PRODUKTIF. Dalam konteks pembahasan budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) inilah, pemahaman kembali atas budaya kita menjadi penting. Budaya yang mengajari kita untuk menghargai kemanusiaan dan menyelamatkan setiap nyawa. Sebagaimana amanat pada Undang Undang Dasar kita yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Jika kita membaca data kecelakaan lalu lintas yang disajikan pemerintah dalam liburan akhir tahun 2012, dan disitulah kita membaca makna budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Bahwa angka kecelakaan itu bukanlah sekedar angka, namun menyangkut bagaimana kita bisa menyelamatkan manusia. Semua kecelakaan dapat dicegah, dan semua berpulang kepada kemauan kita untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan, termasuk kecelakaan lalu lintas. Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) perlu ditingkatkan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat termasuk pada dunia industri. Sebagaimana tema 2013 dari kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) haruslah menjadi bagian dari setiap kegiatan industri dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam manajemen pada setiap industri. Pemerintah telah mencanangkan Indonesia Berbudaya K3 tahun 2015 melalui serangkaian agenda. Diantaranya revitalisasi Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional, melakukan pentahapan tema peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional yang diperingati setiap 12 Januari setiap tahun selama satu bulan. Dimulai tahun 2010, pemerintah mencanangkan GELORAKAN GEMA DAYA K3 DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT. Lebih berfokus pada pembentukan basis budaya di masyarakat sebagai komponen utama dalam dunia usaha. Sehingga diharapkan pelaku-pelaku industri sudah memahami arti penting budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam menjalankan kegiatan usahanya. Kemudian pada 2011, tema peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional adalah TINGKATKAN PELAKSANAAN GEMA DAYA K3 UNTUK MENDUKUNG DAYA SAING USAHA DALAM GLOBALISASI. Maka budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam industri untuk menaikkan daya saing industri. Pada 2012 yang baru saja dilalui, tema yang diusung adalah OPTIMALISASI PENERAPAN SMK3 UNTUK PENINGKATAN MUTU KERJA DAN PRODUKTIVITAS. Dengan mudah kita melihat budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam dunia usaha yang bertujuan untuk peningkatan produktifitas kerja. Pertanyaan besar di dunia usaha adalah, apakah tujuan dari pentahapan tersebut sudah tercapai? Bagaimanapun, terlepas dari ketidak tersediaan data, budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara kualitatif masih jauh dari harapan tersebut. Sebut saja sejumlah kecelakaan kerja yang berujung kematian karyawan yang semestinya bisa dicegah. Kembali lagi kepada prinsip bahwa semua kecelakaan dapat dicegah, setiap kecelakaan bermula dari sebuah budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang tidak terjadi dengan baik dan benar. Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam dunia usaha, harus dimulai dari pemilik usaha, manajemen yang memimpin dan mengendalikan industri. Sebagaimana teori sebab akibat kecelakaan yang diajukan oleh James Reason, atau lebih dikenal dengan Swiss cheese theory, lapisan pertama penyebab kecelakaan adalah pengaruh organisasi (organizational influence). Sehingga peran penting manajemen dan pemilik industri sangat dominan dalam membentuk budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Disini fungsi manajemen dan pemilik industri untuk membangun budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi karyawan. Dimulai dari seperangkat prosedur kerja yang mempertimbangkan aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tanggung jawab yang jelas pada setiap karyawan dan target yang harus dipenuhi. Prosedur kerja yang mempertimbangkan aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) akan memberikan panduan bekerja secara aman bagi karyawan. Maka karyawan secara tidak langsung sudah melakukan karyawanan dengan aman, selama karyawan mengikuri prosedur tersebut. Prosedur ini akan menjadi kesepakatan untuk menilai apakah karyawan melakukan karyawanan dengan baik dan aman atau tidak. Sehingga juga didapatkan sebuah pengukuran proses atas sebuah karyawanan pada sisi proses dan cara kerja. Masih terkait dengan prosedur, maka karyawan perlu mendapatkan sebuah batasan tanggung jawab pada sebuah karyawanan. Sehingga karyawan merasa aman dan nyaman untuk melakukan karyawanan yang menjadi tanggung jawabnya. Kepastian akan tanggung jawab akan memberikan rasa kepastian bagi karyawan untuk mengatur ritme kerja dan alokasi waktu untuk memenuhi prosedur kerja. Sehingga karyawan didorong untuk bekerja lebih produktif dalam lingkup tanggung jawabnya. Karyawan perlu mendapatkan target yang jelas atas capaian karyawanannya. Selain pemilik industri atau manajemen industri dapat melakukan pengukuran keberhasilan atas karyawanan yang dilakukan, karyawan juga akan mempunyai rekam jejak keberhasilan dan akan menjadi catatan tersendiri atas prestasi dan pengakuan yang diberikan. Maka karyawan akan berusaha memberikan usaha yang terbaik untuk menyelesaikan karyawanan, jika target tersebut cukup realistis dan cukup jelas. Dengan demikian setiap karyawan akan melakukan karyawanan secara terarah dan berdedikasi untuk bekerja lebih aman, lebih baik, yang pada ujungnya akan meningkatkan produktifitas kerja. Dalam pelaksanaan beberapa hal di atas, manajemen industri juga harus mempertimbangkan bentuk pendekatan positif dan seperangkat peraturan yang mendorong karyawan untuk berperilaku aktif dalam program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pendekatan positif dapat berupa insentif atas prestasi daripada hukuman atas sebuah pelanggaran. Meskipun tidak meniadakan pola hukuman (punishment), namun secara bertahap pendekatan positif yang mendorong karyawan berperilaku aman, memberikan prestasi dan berperan aktif dalam program pencegahan kecelakaan haruslah dijalankan. Sehingga pesan yang diterima oleh karyawan adalah manajemen lebih mendorong karyawan untuk berperilaku aman dan lebih berprestasi. Pada sebuah studi kasus di suatu perusahaan, manajemen memberikan insentif Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada karyawan yang tidak mengalami kecelakaan kerja, dimaksudkan untuk mengurangi angka kecelakaan kerja dan mendorong karyawan untuk berperilaku lebih aman. Pada sisi pelaksanaan, ternyata memunculkan 2 perilaku yang pada akhirnya kedua perilaku ini berujung pada didapatnya insentif Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ini. Perilaku pertama yang ditunjukkan adalah karyawan termotivasi untuk bekerja lebih aman, dengan menaati peraturan, prosedur kerja, lebih meluangkan waktu untuk melihat kembali potensi bahaya yang ada. Sehingga karyawan tersebut lebih aman dan lebih terhindar dari kecelakaan kerja. Perilaku kedua adalah karyawan ternyata tidak cukup kuat untuk mengikuti peraturan, prosedur kerja dan lainnya. Adapun karyawan yang mengalami kecelakaan kerja, karyawan tersebut menyembunyikan kasus kecelakaan kerjanya supaya tidak menjadi catatan, dan karyawan tetap mendapatkan insentif Keselamatan. Sehingga pendekatan insentif pada hasil (ada tidaknya kecelakaan kerja) akan kurang efektif bagi karyawan dan manajemen untuk menekan angka kecelakaan kerja. Dengan insentif yang sama, namun polanya diubah, akan memberikan hasil yang lebih baik. Insentif Keselamatan diberikan pada karyawan yang melakukan serangkaian program pencegahan kecelakaan kerja, seperti melakukan inspeksi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), melakukan pertemuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan target tertentu yang disepakati. Selain manajemen mendapat manfaat berupa program pencegahan kecelakaan kerja berjalan, karyawan juga mendapatkan pengetahuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dari pertemuan-pertemuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan, karyawan dapat memastikan tempat kerjanya lebih aman, peralatan kerja yang digunakan dalam kondisi baik, tentunya ketika karyawan berhasil menyelesaikan serangkaian program tersebut, karyawan akan mendapatkan insentif. Pada studi kasus diatas menunjukkan posisi strategis manajemen industri untuk membentuk budaya K3 di dunia usaha. Sehingga pengaruh organisasi menjadi lapisan pertama untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Dan ketika serangkaian program pencegahan kecelakaan ini dilaksanakan secara konsisten, maka program yang tadinya adalah kewajiban, secara perlahan akan menjadi kebiasaan karyawan dan akan menjadi budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Penulis mengalami dimana peraturan memaksa memakai sabuk keselamatan (seatbelt) di mobil secara displin, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Aturannya jelas, tidak memakai sabuk keselamatan (seatbelt) akan didenda, dan aturan ini ditegakkan secara tegas untuk siapapun. Sehingga secara tidak sadar kewajiban memakai sabuk keselamatan (seatbelt) berubah menjadi kebiasaan dan sekarang menjadi budaya. Parameternya sederhana, pada saat masuk ke mobil, secara otomatis akan mencari sabuk keselamatan dan memakainya. Perilaku ini otomatis, tidak perlu berpikir dan tidak juga direncanakan sebelum naik mobil. Sama halnya ketika naik atau turun tangga, apakah seseorang mencari susuran tangga? Jika hal-hal demikian secara otomatis bagian adri perilaku sehari-hari, maka ia menjadi budaya. Dan budaya-budaya inilah yang akan membentuk budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang akan menyelamatkan manusia dan kemanusiaan. Sekali lagi menegaskan peran penting manajemen dalam membentuk budaya K3 melalui aturan yang mendorong karyawan untuk berperilaku aman. Meski pada awalnya berupa sebuah keterpaksaan, selama dijalankan secara konsisten dan tegas, apda akhirnya akan berubah menjadi kebiasaan dan menjadi budaya. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan aspek yang penting dalam aktivitas dunia industri. Relativitas kadar penting tidaknya akan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) ini tergantung pada seberapa besar pengaruhnya terhadap subjek dan objek itu sendiri. K3 menjadi wacana industri abad ini setelah ditemukannya teori – teori yang representatif yang mendukung akan improvisasi dalam konteks keselamatan dan manajemen resiko yang muncul dalam kegiatan industri yang lebih luas. Meninjau kembali literatur – literatur yang telah dikenal dan diterapkan mengenai studi kasus dalam masalah K3 dimana kesempurnaan metoda dan penerapan yang penuh komitmen dan konsistensi penuh dari semua pihak masih banyak diharapkan. Kendala – kendala makro seperti costibility dan understanding sering kali banyak ditemui dilapangan akan tetapi tidak berarti pula bahwa program K3 tidak berjalan, ini menuntut komitmen dan kesadaran pada masing – masing pihak. Sebagai logika dasar tentang pentingnya pemahaman K3 dapat diilustrasikan dengan Historical perspective yaitu “Apabila seorang pembangun membangun sebuah rumah untuk seseorang dan tidak membuat konstruksi dan rumah yang ia bangun runtuh akan menyebabkan rumah tersebut rusak dan meninggal pemiliknya, ternyata pembangun bisa menyebabkan kematian”. Ini artinya bahwa dalam setiap aktivitas apapun selain perencanaan teknis fisik harus diperhatikan pula aspek – aspek keamanan yang terkait langsung maupun tidak langsung. Walaupun hakekat bahaya bersifat labil dan tidak bisa direncanakan akan tetapi setidaknya dengan program K3 membantu dalam menjamin peminimalisasian bahaya dan manajemen resiko. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap dinamika industri. Tujuan dari penerapan K3 dalam suatu industri adalah : 1. Menerapkan peraturan pemerintah UUD 1945 pasal 27 ayat 2, UU No. 14 Tahun 1969 pasal 9 & 10 Tentang pokok – pokok Ketenagakerjaan, dan UU No. 1 Tahun 1970 Tentang keselematan kerja 2. Menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manjemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintregasi, dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan, dan penyakit akibat kerja, serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif (SMK3, pasal 2 ). Sebelum tahun 1911, tentang keselamatan kerja dalam industri hampir tidak diperhatikan. Pekerja tidak dilindungi dengan hukum. Tidak ada santunan kecelakaan bagi pekerja. Bila terjadi kecelakaan, perusahaan menganggap bahwa kecelakaan itu : 1. Disebabkan oleh kesalahan tenaga kerja (karyawan) sendiri. 2. Disebabkan teman sekerja sehingga ia (pekerja) mengalami kecelakaan. 3. Tanggungan pekerja, karena menganggap perusahaan merasa sudah membayar (menggaji) maka resiko kecelakaan menjadi tanggungan pekerja. 4. Karena pekerja mengalami kelalaian, sehingga terjadi kecelakaan. Pada tahun 1908 di New York, dilakukan kompensasi pertama bagi pekerja yang mengalami kecelakaan. Setelah tahun 1911, pekerja mendapat kompensasi Penyakit Akibat Kerja (PAK). Bila disebabkan terkena panas (atmosphere) seharusnya panas dalam industri diberi pelindung (safety) dan inilah yang menghasilkan dasar pemikiran mengenai perkembangan teknologi safety dan sanitasi industri. Perkembangan terkini mengenai K3 sebagai integrasi dari ISO 9001 : 2000 (Quality) dan ISO 14001 : 1996 (Enviromental) yang diterapkan diseluruh Negara didunia adalah dengan munculnya berbagai macam sistem keamanan dan keselamatan kerja yang disesuaikan dan diselaraskan dengan kebutuhan dan compatibility dari jenis dan lingkungan di industri masing – masing Negara tersebut, misalnya : 1. NSC (USA) 2. SAFETY MAP (Australia) 3. SMK3 (Indonesia) 4. British standard 8800 Guide to OH&SMS (Inggris) 5. SGS Yarsley ICS & ISMOL ISA 2000 Requirements for S&HMS (Swiss) 6. National Standard Authority of Ireland (Irlandia) 7. Det Norske Veritas Standard for Certification of OH&SMS (Holland) 8. South African Bureau of Standard (Afrika Selatan) 9. SIRIM QAS Sdn. Bhd. (Malaysia) 10. OHSAS 18001 dsb. Keselamatan (safety) adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menghilangkan/ mengontrol resiko yang tidak bisa diterima. Ketidakberterimaan awalnya berasal dari bahaya,. Bahaya adalah suatu keadaan yang berpotensi untuk terjadinya kecelakaan dan kerugian. Potensi bahaya dapat berasal dari mesin – mesin, pesawat, alat kerja, dan bahan – bahan serta energi, dari lingkungan kerja, sifat pekerjaan dan proses produksi yang beresiko akan munculnya bahaya. Faktor – faktor sumber bahaya adalah : 1. Faktor fisik 2. Faktor kimia 3. Faktor biologi 4. Faktor fisiologi 5. Faktor psikologi Resiko adalah kesempatan untuk terjadinya kecelakaan atau kerugian, juga kemungkinan dari akibat dan kemungkinan bahaya tertentu. Sumber – sumber resiko adalah: 1. Perubahan 2. Produk 3. Kekayaan dan bahan baku 4. Prosedur dan aktivitas proses 5. Teknologi dan peralatan 6. Personel 7. Tempat kerja dan lingkungan 8. Lingkungan alam, keadaan iklim 9. Eksternal/pihak – pihak yang terkait Keselamatan ini mencakup akan semua aspek, bisa melalui Manusia, Metode, Mesin (alat), atau Lingkungan. Untuk keselamatan, manusia dibekali dengan pengetahuan tentang perlengkapan dalam kegiatan kerjanya dengan melalui intruksi kerja aman atau Prosedur standar. Metode yang representative dan compatible juga mampu mendatangkan keselamatan. Sedangkan mesin (alat) memerlukan suatu aksesoris khusus dalam menunjang kerjanya agar mampu beroperasi secara aman tanpa mengurangi fungsi aslinya dengan sedikit sentuhan teknologi tidak menutup kemungkinan alat penunjang tersebut dalam keadaan tertentu bisa sangat penting sekali eksistensinya, ini dapat kita maksudkan dengan Alat Pelindung Diri (Personal Protective Equipment) yang diselaraskan dengan fungsi dan jenis bahaya yang sudah disarankan penggunaannya yang efektif . Untuk lingkungan tergantumg pada pengaturan tata letak dan fungsi dalam manajemen yang efektif dan efisien. Kesehatan (Health) adalah derajat/tingkat keadaan fisik dan spikologi individu. Kesehatan ini sangat besar sekali andilnya dalam hal keselamatan dan kecelakaan kerja. Ini dikaitkan dengan kondisi fisiologis dari manusia, seperti contoh : 1. Ketidakseimbangan fisik/kemampuan fisik tenaga kerja, antara lain : • Tidak sesuai berat badan, kekuatan dan jangkauan. • Posisi tubuh yang dapat menyebabkan mudah lemah • Kepekaan tubuh • Kepekaan panca indera terhadap bunyi • Cacat fisik • Cacat sementara 2. Ketidakseimbangan kemampuan psikologis tenaga kerja, antara lain : • Rasa takut / phobia • Gangguan emosional • Sakit jiwa • Tingkat kecakapan • Tidak mampu memahami • Sedikit ide (pendapat) • Gerakannya lamban • Ketrampilan kurang. 3. Stres mental, antara lain : • Emosi berlebihan • Beban mental berlebihan • Pendiam dan tertutup • Problem sesuatu yang tidak dipahami • Frustasi • Sakit mental 4. Stres Fisik, antara lain : • Badan sakit ( tidak sehat badan ) • Beban tugas berlebihan • Kurang istirahat • Kelelahan sensori • Terpapar bahan • Terpapar panas yang tinggi • Kekurangan oksigen • Gerakan terganggu • Gula darah menurun Gangguan – gangguan kesehatan akibat reaksi fisikokimia (terbakar, luka, terkena bahan kimia, dsb.) dalam industri sangat sering kali terjadi dan penyumbang paling banyak dalam catatan kecelakaan kerja ini menuntut suatu transformasi teknologi klompementer yang aman dan ramah lingkungan. Kecelakaan (Accident) adalah kejadian yang tidak diinginkan yang dapat mengakibatkan, luka pada manusia, kerusakan harta benda, kerugian pada proses atau terjadinya kontak dengan suatu benda atau sumber tenaga yang lebih dari daya tahan tubuh atau struktur. Kecelakaan ini dibedakan menjadi 1. Lost Time Injure (LTI) yaitu Cidera yang mengakibatkan hilangnya waktu kerja. 2. Restricted Duties Injure (RDI) yaitu Cidera yang mengakibatkan Kerja menjadi terbatas. 3. Medical Treatment Injure (MTI) yaitu Cidera yang memerlukan bantuan petugas kesehatan ) 4. First Aid Injure (FAI) yaitu Cidera yang memerlukan P3K Sumber: http://smk3ae.wordpress.com/2008/06/16/keselamatan-dan-kesehatan-kerja-industri/ Sumber : http://www.majalahdermaga.com/articles/2013/01/19/pengelolaan-budaya-keselamatan-dan-kesehatan-kerja-k3-di-industri

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dalam pembahasan budaya, setiap ilmuwan berbeda dalam hal definisi. Namun satu hal yang pasti adalah budaya adalah kumpulan dari karya manusia untuk memanusiakan manusia. Sehingga tujuan budaya itu sendiri adalah menjunjung tinggi hakekat manusia dan kemanusiaan yang menyertainya.

Menyambut peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional pada 12 Januari s.d. 12 Pebruari 2013 yang dicanangkan pemerintah, tema besar yang diusung adalah BUDAYAKAN K3 DISETIAP KEGIATAN USAHA MENUJU MASYARAKAT INDUSTRI YANG SELAMAT, SEHAT DAN PRODUKTIF. Dalam konteks pembahasan budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) inilah, pemahaman kembali atas budaya kita menjadi penting. Budaya yang mengajari kita untuk menghargai kemanusiaan dan menyelamatkan setiap nyawa. Sebagaimana amanat pada Undang Undang Dasar kita yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Jika kita membaca data kecelakaan lalu lintas yang disajikan pemerintah dalam liburan akhir tahun 2012, dan disitulah kita membaca makna budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Bahwa angka kecelakaan itu bukanlah sekedar angka, namun menyangkut bagaimana kita bisa menyelamatkan manusia. Semua kecelakaan dapat dicegah, dan semua berpulang kepada kemauan kita untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan, termasuk kecelakaan lalu lintas.

Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) perlu ditingkatkan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat termasuk pada dunia industri. Sebagaimana tema 2013 dari kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) haruslah menjadi bagian dari setiap kegiatan industri dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam manajemen pada setiap industri. Pemerintah telah mencanangkan Indonesia Berbudaya K3 tahun 2015 melalui serangkaian agenda. Diantaranya revitalisasi Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional, melakukan pentahapan tema peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional yang diperingati setiap 12 Januari setiap tahun selama satu bulan.

Dimulai tahun 2010, pemerintah mencanangkan GELORAKAN GEMA DAYA K3 DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT. Lebih berfokus pada pembentukan basis budaya di masyarakat sebagai komponen utama dalam dunia usaha. Sehingga diharapkan pelaku-pelaku industri sudah memahami arti penting budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam menjalankan kegiatan usahanya. Kemudian pada 2011, tema peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional adalah TINGKATKAN PELAKSANAAN GEMA DAYA K3 UNTUK MENDUKUNG DAYA SAING USAHA DALAM GLOBALISASI. Maka budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam industri untuk menaikkan daya saing industri. Pada 2012 yang baru saja dilalui, tema yang diusung adalah OPTIMALISASI PENERAPAN SMK3 UNTUK PENINGKATAN MUTU KERJA DAN PRODUKTIVITAS. Dengan mudah kita melihat budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam dunia usaha yang bertujuan untuk peningkatan produktifitas kerja.

Pertanyaan besar di dunia usaha adalah, apakah tujuan dari pentahapan tersebut sudah tercapai? Bagaimanapun, terlepas dari ketidak tersediaan data, budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara kualitatif masih jauh dari harapan tersebut. Sebut saja sejumlah kecelakaan kerja yang berujung kematian karyawan yang semestinya bisa dicegah. Kembali lagi kepada prinsip bahwa semua kecelakaan dapat dicegah, setiap kecelakaan bermula dari sebuah budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang tidak terjadi dengan baik dan benar.

Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam dunia usaha, harus dimulai dari pemilik usaha, manajemen yang memimpin dan mengendalikan industri. Sebagaimana teori sebab akibat kecelakaan yang diajukan oleh James Reason, atau lebih dikenal dengan Swiss cheese theory, lapisan pertama penyebab kecelakaan adalah pengaruh organisasi (organizational influence). Sehingga peran penting manajemen dan pemilik industri sangat dominan dalam membentuk budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk mencegah terjadinya kecelakaan.

Disini fungsi manajemen dan pemilik industri untuk membangun budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi karyawan. Dimulai dari seperangkat prosedur kerja yang mempertimbangkan aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tanggung jawab yang jelas pada setiap karyawan dan target yang harus dipenuhi.

Prosedur kerja yang mempertimbangkan aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) akan memberikan panduan bekerja secara aman bagi karyawan. Maka karyawan secara tidak langsung sudah melakukan karyawanan dengan aman, selama karyawan mengikuri prosedur tersebut. Prosedur ini akan menjadi kesepakatan untuk menilai apakah karyawan melakukan karyawanan dengan baik dan aman atau tidak. Sehingga juga didapatkan sebuah pengukuran proses atas sebuah karyawanan pada sisi proses dan cara kerja.

Masih terkait dengan prosedur, maka karyawan perlu mendapatkan sebuah batasan tanggung jawab pada sebuah karyawanan. Sehingga karyawan merasa aman dan nyaman untuk melakukan karyawanan yang menjadi tanggung jawabnya. Kepastian akan tanggung jawab akan memberikan rasa kepastian bagi karyawan untuk mengatur ritme kerja dan alokasi waktu untuk memenuhi prosedur kerja. Sehingga karyawan didorong untuk bekerja lebih produktif dalam lingkup tanggung jawabnya.

Karyawan perlu mendapatkan target yang jelas atas capaian karyawanannya. Selain pemilik industri atau manajemen industri dapat melakukan pengukuran keberhasilan atas karyawanan yang dilakukan, karyawan juga akan mempunyai rekam jejak keberhasilan dan akan menjadi catatan tersendiri atas prestasi dan pengakuan yang diberikan. Maka karyawan akan berusaha memberikan usaha yang terbaik untuk menyelesaikan karyawanan, jika target tersebut cukup realistis dan cukup jelas.

Dengan demikian setiap karyawan akan melakukan karyawanan secara terarah dan berdedikasi untuk bekerja lebih aman, lebih baik, yang pada ujungnya akan meningkatkan produktifitas kerja.
Dalam pelaksanaan beberapa hal di atas, manajemen industri juga harus mempertimbangkan bentuk pendekatan positif dan seperangkat peraturan yang mendorong karyawan untuk berperilaku aktif dalam program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pendekatan positif dapat berupa insentif atas prestasi daripada hukuman atas sebuah pelanggaran. Meskipun tidak meniadakan pola hukuman (punishment), namun secara bertahap pendekatan positif yang mendorong karyawan berperilaku aman, memberikan prestasi dan berperan aktif dalam program pencegahan kecelakaan haruslah dijalankan. Sehingga pesan yang diterima oleh karyawan adalah manajemen lebih mendorong karyawan untuk berperilaku aman dan lebih berprestasi.

Pada sebuah studi kasus di suatu perusahaan, manajemen memberikan insentif Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada karyawan yang tidak mengalami kecelakaan kerja, dimaksudkan untuk mengurangi angka kecelakaan kerja dan mendorong karyawan untuk berperilaku lebih aman. Pada sisi pelaksanaan, ternyata memunculkan 2 perilaku yang pada akhirnya kedua perilaku ini berujung pada didapatnya insentif Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ini.

Perilaku pertama yang ditunjukkan adalah karyawan termotivasi untuk bekerja lebih aman, dengan menaati peraturan, prosedur kerja, lebih meluangkan waktu untuk melihat kembali potensi bahaya yang ada. Sehingga karyawan tersebut lebih aman dan lebih terhindar dari kecelakaan kerja.

Perilaku kedua adalah karyawan ternyata tidak cukup kuat untuk mengikuti peraturan, prosedur kerja dan lainnya. Adapun karyawan yang mengalami kecelakaan kerja, karyawan tersebut menyembunyikan kasus kecelakaan kerjanya supaya tidak menjadi catatan, dan karyawan tetap mendapatkan insentif Keselamatan. Sehingga pendekatan insentif pada hasil (ada tidaknya kecelakaan kerja) akan kurang efektif bagi karyawan dan manajemen untuk menekan angka kecelakaan kerja.

Dengan insentif yang sama, namun polanya diubah, akan memberikan hasil yang lebih baik. Insentif Keselamatan diberikan pada karyawan yang melakukan serangkaian program pencegahan kecelakaan kerja, seperti melakukan inspeksi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), melakukan pertemuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan target tertentu yang disepakati. Selain manajemen mendapat manfaat berupa program pencegahan kecelakaan kerja berjalan, karyawan juga mendapatkan pengetahuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dari pertemuan-pertemuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan, karyawan dapat memastikan tempat kerjanya lebih aman, peralatan kerja yang digunakan dalam kondisi baik, tentunya ketika karyawan berhasil menyelesaikan serangkaian program tersebut, karyawan akan mendapatkan insentif.

Pada studi kasus diatas menunjukkan posisi strategis manajemen industri untuk membentuk budaya K3 di dunia usaha. Sehingga pengaruh organisasi menjadi lapisan pertama untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Dan ketika serangkaian program pencegahan kecelakaan ini dilaksanakan secara konsisten, maka program yang tadinya adalah kewajiban, secara perlahan akan menjadi kebiasaan karyawan dan akan menjadi budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Penulis mengalami dimana peraturan memaksa memakai sabuk keselamatan (seatbelt) di mobil secara displin, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Aturannya jelas, tidak memakai sabuk keselamatan (seatbelt) akan didenda, dan aturan ini ditegakkan secara tegas untuk siapapun. Sehingga secara tidak sadar kewajiban memakai sabuk keselamatan (seatbelt) berubah menjadi kebiasaan dan sekarang menjadi budaya. Parameternya sederhana, pada saat masuk ke mobil, secara otomatis akan mencari sabuk keselamatan dan memakainya. Perilaku ini otomatis, tidak perlu berpikir dan tidak juga direncanakan sebelum naik mobil.

Sama halnya ketika naik atau turun tangga, apakah seseorang mencari susuran tangga? Jika hal-hal demikian secara otomatis bagian adri perilaku sehari-hari, maka ia menjadi budaya. Dan budaya-budaya inilah yang akan membentuk budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang akan menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.

Sekali lagi menegaskan peran penting manajemen dalam membentuk budaya K3 melalui aturan yang mendorong karyawan untuk berperilaku aman. Meski pada awalnya berupa sebuah keterpaksaan, selama dijalankan secara konsisten dan tegas, apda akhirnya akan berubah menjadi kebiasaan dan menjadi budaya.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan aspek yang penting dalam aktivitas dunia industri. Relativitas kadar penting tidaknya akan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) ini tergantung pada seberapa besar pengaruhnya terhadap subjek dan objek itu sendiri.  K3 menjadi wacana industri abad ini setelah ditemukannya teori – teori yang representatif yang mendukung akan improvisasi dalam konteks keselamatan dan manajemen resiko yang muncul dalam kegiatan industri yang lebih luas.
Meninjau kembali literatur – literatur yang telah dikenal dan diterapkan mengenai studi kasus dalam masalah K3 dimana kesempurnaan metoda dan penerapan yang penuh komitmen dan konsistensi  penuh dari semua pihak masih banyak diharapkan. Kendala – kendala makro seperti costibility dan understanding sering kali banyak ditemui dilapangan akan tetapi tidak berarti pula bahwa program K3 tidak berjalan, ini menuntut komitmen dan kesadaran pada masing – masing pihak.
Sebagai logika dasar tentang pentingnya pemahaman K3 dapat diilustrasikan dengan Historical perspective yaitu “Apabila seorang pembangun membangun sebuah rumah untuk seseorang dan tidak membuat konstruksi dan rumah yang ia bangun runtuh akan menyebabkan rumah tersebut rusak dan meninggal pemiliknya, ternyata pembangun bisa menyebabkan kematian”. Ini artinya bahwa dalam setiap aktivitas apapun selain perencanaan teknis fisik harus diperhatikan pula aspek – aspek keamanan yang terkait langsung  maupun tidak langsung.
Walaupun hakekat  bahaya bersifat labil dan tidak bisa direncanakan akan tetapi setidaknya dengan program K3 membantu dalam menjamin peminimalisasian bahaya dan manajemen resiko. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap dinamika industri.

Tujuan dari penerapan K3 dalam suatu industri adalah :
1.      Menerapkan peraturan pemerintah UUD 1945 pasal 27 ayat 2, UU No. 14 Tahun 1969 pasal 9 & 10 Tentang pokok – pokok Ketenagakerjaan, dan UU No. 1 Tahun 1970 Tentang keselematan kerja
2.      Menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manjemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintregasi, dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan, dan penyakit akibat kerja, serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif (SMK3, pasal 2 ).
Sebelum tahun 1911, tentang keselamatan kerja dalam industri hampir tidak diperhatikan. Pekerja tidak dilindungi dengan hukum. Tidak ada santunan kecelakaan bagi pekerja. Bila terjadi kecelakaan, perusahaan menganggap bahwa kecelakaan itu :
1.    Disebabkan oleh kesalahan tenaga kerja (karyawan) sendiri.
2.    Disebabkan teman sekerja sehingga ia (pekerja) mengalami kecelakaan.
3.    Tanggungan pekerja, karena menganggap perusahaan merasa sudah membayar           (menggaji) maka resiko kecelakaan menjadi tanggungan pekerja.
4.    Karena pekerja mengalami kelalaian, sehingga terjadi kecelakaan.
Pada tahun 1908 di New York, dilakukan kompensasi pertama bagi pekerja yang mengalami kecelakaan. Setelah tahun 1911, pekerja mendapat kompensasi Penyakit Akibat Kerja (PAK). Bila disebabkan terkena panas (atmosphere) seharusnya panas dalam industri diberi pelindung (safety) dan inilah yang  menghasilkan dasar pemikiran mengenai perkembangan teknologi safety dan sanitasi industri.
Perkembangan terkini mengenai K3 sebagai integrasi dari ISO 9001 : 2000 (Quality) dan  ISO 14001 : 1996 (Enviromental) yang diterapkan diseluruh Negara didunia adalah dengan munculnya berbagai macam sistem keamanan dan keselamatan kerja yang disesuaikan dan diselaraskan dengan kebutuhan dan compatibility dari jenis dan lingkungan di industri masing – masing Negara tersebut, misalnya :
1.      NSC (USA)
2.      SAFETY MAP (Australia)
3.      SMK3 (Indonesia)
4.      British standard 8800 Guide to OH&SMS (Inggris)
5.      SGS Yarsley ICS & ISMOL ISA 2000 Requirements for S&HMS (Swiss)
6.      National Standard Authority of Ireland (Irlandia)
7.      Det Norske Veritas Standard for Certification of  OH&SMS (Holland)
8.      South African Bureau of Standard (Afrika Selatan)
9.      SIRIM QAS Sdn. Bhd. (Malaysia)
10.  OHSAS 18001 dsb.
Keselamatan (safety) adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menghilangkan/ mengontrol resiko yang tidak bisa diterima. Ketidakberterimaan awalnya berasal dari bahaya,. Bahaya adalah suatu keadaan yang berpotensi untuk terjadinya kecelakaan dan kerugian.
Potensi bahaya dapat berasal dari mesin – mesin, pesawat, alat kerja, dan bahan – bahan serta energi, dari lingkungan kerja, sifat pekerjaan dan proses produksi yang beresiko akan munculnya bahaya. Faktor – faktor sumber bahaya adalah :
1.         Faktor fisik
2.         Faktor kimia
3.         Faktor biologi
4.         Faktor fisiologi
5.         Faktor psikologi
Resiko adalah kesempatan untuk terjadinya kecelakaan atau kerugian, juga kemungkinan dari akibat dan kemungkinan bahaya tertentu. Sumber – sumber resiko adalah:

1.      Perubahan
2.      Produk
3.      Kekayaan dan bahan baku
4.      Prosedur dan aktivitas proses
5.      Teknologi dan peralatan
6.      Personel
7.      Tempat kerja dan lingkungan
8.      Lingkungan alam, keadaan iklim
9.      Eksternal/pihak – pihak yang terkait

            Keselamatan ini mencakup akan semua aspek, bisa melalui Manusia, Metode, Mesin   (alat), atau Lingkungan. Untuk keselamatan, manusia dibekali dengan pengetahuan tentang perlengkapan dalam kegiatan kerjanya dengan melalui intruksi kerja aman atau Prosedur standar. Metode yang representative dan compatible juga mampu mendatangkan keselamatan.
            Sedangkan mesin (alat) memerlukan suatu aksesoris khusus dalam menunjang kerjanya  agar mampu beroperasi secara aman tanpa mengurangi fungsi aslinya dengan  sedikit sentuhan teknologi tidak menutup kemungkinan alat penunjang tersebut dalam keadaan tertentu bisa sangat penting sekali eksistensinya, ini dapat kita maksudkan dengan Alat Pelindung Diri (Personal Protective Equipment) yang diselaraskan dengan fungsi dan jenis bahaya yang sudah disarankan penggunaannya yang efektif . Untuk lingkungan tergantumg pada pengaturan tata letak dan fungsi dalam manajemen yang efektif dan efisien.
        Kesehatan (Health) adalah  derajat/tingkat keadaan fisik dan spikologi individu. Kesehatan ini sangat besar sekali andilnya dalam hal keselamatan dan kecelakaan kerja. Ini dikaitkan dengan kondisi fisiologis dari manusia, seperti contoh :
1.         Ketidakseimbangan fisik/kemampuan fisik tenaga kerja, antara lain :
· Tidak sesuai berat badan, kekuatan dan jangkauan.
· Posisi tubuh yang dapat menyebabkan mudah lemah
· Kepekaan tubuh
· Kepekaan panca indera terhadap bunyi
· Cacat fisik
· Cacat sementara
2.         Ketidakseimbangan kemampuan psikologis tenaga kerja, antara lain :
· Rasa takut / phobia
· Gangguan emosional
· Sakit jiwa
· Tingkat kecakapan
· Tidak mampu memahami
· Sedikit ide (pendapat)
· Gerakannya lamban
· Ketrampilan kurang.

3.         Stres mental, antara lain :
· Emosi berlebihan
· Beban mental berlebihan
· Pendiam dan tertutup
· Problem sesuatu yang tidak dipahami
· Frustasi
· Sakit mental

4.               Stres Fisik, antara lain :
· Badan sakit ( tidak sehat badan )
· Beban tugas berlebihan
· Kurang istirahat
· Kelelahan sensori
· Terpapar bahan
· Terpapar panas yang tinggi
· Kekurangan oksigen
· Gerakan terganggu
· Gula darah menurun

   Gangguan – gangguan kesehatan akibat reaksi fisikokimia (terbakar, luka, terkena bahan kimia, dsb.) dalam industri sangat sering kali terjadi dan penyumbang paling banyak dalam catatan kecelakaan kerja ini menuntut suatu transformasi teknologi klompementer yang aman dan ramah lingkungan.
Kecelakaan (Accident) adalah kejadian yang tidak diinginkan yang dapat mengakibatkan, luka pada manusia, kerusakan harta benda, kerugian pada proses atau terjadinya kontak dengan suatu benda atau sumber tenaga yang lebih dari daya tahan tubuh atau struktur. Kecelakaan ini dibedakan menjadi
1.      Lost Time Injure (LTI) yaitu Cidera yang mengakibatkan hilangnya waktu kerja.
2.      Restricted Duties Injure (RDI) yaitu Cidera yang mengakibatkan Kerja menjadi terbatas.
3.      Medical Treatment Injure (MTI) yaitu Cidera yang memerlukan bantuan petugas kesehatan )
4.      First Aid Injure (FAI) yaitu Cidera yang memerlukan P3K

Sumber: http://smk3ae.wordpress.com/2008/06/16/keselamatan-dan-kesehatan-kerja-industri/
Sumber : http://www.majalahdermaga.com/articles/2013/01/19/pengelolaan-budaya-keselamatan-dan-kesehatan-kerja-k3-di-industri

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dalam pembahasan budaya, setiap ilmuwan berbeda dalam hal definisi. Namun satu hal yang pasti adalah budaya adalah kumpulan dari karya manusia untuk memanusiakan manusia. Sehingga tujuan budaya itu sendiri adalah menjunjung tinggi hakekat manusia dan kemanusiaan yang menyertainya.

Menyambut peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional pada 12 Januari s.d. 12 Pebruari 2013 yang dicanangkan pemerintah, tema besar yang diusung adalah BUDAYAKAN K3 DISETIAP KEGIATAN USAHA MENUJU MASYARAKAT INDUSTRI YANG SELAMAT, SEHAT DAN PRODUKTIF. Dalam konteks pembahasan budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) inilah, pemahaman kembali atas budaya kita menjadi penting. Budaya yang mengajari kita untuk menghargai kemanusiaan dan menyelamatkan setiap nyawa. Sebagaimana amanat pada Undang Undang Dasar kita yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Jika kita membaca data kecelakaan lalu lintas yang disajikan pemerintah dalam liburan akhir tahun 2012, dan disitulah kita membaca makna budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Bahwa angka kecelakaan itu bukanlah sekedar angka, namun menyangkut bagaimana kita bisa menyelamatkan manusia. Semua kecelakaan dapat dicegah, dan semua berpulang kepada kemauan kita untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan, termasuk kecelakaan lalu lintas.

Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) perlu ditingkatkan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat termasuk pada dunia industri. Sebagaimana tema 2013 dari kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) haruslah menjadi bagian dari setiap kegiatan industri dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam manajemen pada setiap industri. Pemerintah telah mencanangkan Indonesia Berbudaya K3 tahun 2015 melalui serangkaian agenda. Diantaranya revitalisasi Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional, melakukan pentahapan tema peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional yang diperingati setiap 12 Januari setiap tahun selama satu bulan.

Dimulai tahun 2010, pemerintah mencanangkan GELORAKAN GEMA DAYA K3 DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT. Lebih berfokus pada pembentukan basis budaya di masyarakat sebagai komponen utama dalam dunia usaha. Sehingga diharapkan pelaku-pelaku industri sudah memahami arti penting budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam menjalankan kegiatan usahanya. Kemudian pada 2011, tema peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional adalah TINGKATKAN PELAKSANAAN GEMA DAYA K3 UNTUK MENDUKUNG DAYA SAING USAHA DALAM GLOBALISASI. Maka budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam industri untuk menaikkan daya saing industri. Pada 2012 yang baru saja dilalui, tema yang diusung adalah OPTIMALISASI PENERAPAN SMK3 UNTUK PENINGKATAN MUTU KERJA DAN PRODUKTIVITAS. Dengan mudah kita melihat budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam dunia usaha yang bertujuan untuk peningkatan produktifitas kerja.

Pertanyaan besar di dunia usaha adalah, apakah tujuan dari pentahapan tersebut sudah tercapai? Bagaimanapun, terlepas dari ketidak tersediaan data, budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara kualitatif masih jauh dari harapan tersebut. Sebut saja sejumlah kecelakaan kerja yang berujung kematian karyawan yang semestinya bisa dicegah. Kembali lagi kepada prinsip bahwa semua kecelakaan dapat dicegah, setiap kecelakaan bermula dari sebuah budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang tidak terjadi dengan baik dan benar.

Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam dunia usaha, harus dimulai dari pemilik usaha, manajemen yang memimpin dan mengendalikan industri. Sebagaimana teori sebab akibat kecelakaan yang diajukan oleh James Reason, atau lebih dikenal dengan Swiss cheese theory, lapisan pertama penyebab kecelakaan adalah pengaruh organisasi (organizational influence). Sehingga peran penting manajemen dan pemilik industri sangat dominan dalam membentuk budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk mencegah terjadinya kecelakaan.

Disini fungsi manajemen dan pemilik industri untuk membangun budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi karyawan. Dimulai dari seperangkat prosedur kerja yang mempertimbangkan aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tanggung jawab yang jelas pada setiap karyawan dan target yang harus dipenuhi.

Prosedur kerja yang mempertimbangkan aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) akan memberikan panduan bekerja secara aman bagi karyawan. Maka karyawan secara tidak langsung sudah melakukan karyawanan dengan aman, selama karyawan mengikuri prosedur tersebut. Prosedur ini akan menjadi kesepakatan untuk menilai apakah karyawan melakukan karyawanan dengan baik dan aman atau tidak. Sehingga juga didapatkan sebuah pengukuran proses atas sebuah karyawanan pada sisi proses dan cara kerja.

Masih terkait dengan prosedur, maka karyawan perlu mendapatkan sebuah batasan tanggung jawab pada sebuah karyawanan. Sehingga karyawan merasa aman dan nyaman untuk melakukan karyawanan yang menjadi tanggung jawabnya. Kepastian akan tanggung jawab akan memberikan rasa kepastian bagi karyawan untuk mengatur ritme kerja dan alokasi waktu untuk memenuhi prosedur kerja. Sehingga karyawan didorong untuk bekerja lebih produktif dalam lingkup tanggung jawabnya.

Karyawan perlu mendapatkan target yang jelas atas capaian karyawanannya. Selain pemilik industri atau manajemen industri dapat melakukan pengukuran keberhasilan atas karyawanan yang dilakukan, karyawan juga akan mempunyai rekam jejak keberhasilan dan akan menjadi catatan tersendiri atas prestasi dan pengakuan yang diberikan. Maka karyawan akan berusaha memberikan usaha yang terbaik untuk menyelesaikan karyawanan, jika target tersebut cukup realistis dan cukup jelas.

Dengan demikian setiap karyawan akan melakukan karyawanan secara terarah dan berdedikasi untuk bekerja lebih aman, lebih baik, yang pada ujungnya akan meningkatkan produktifitas kerja.
Dalam pelaksanaan beberapa hal di atas, manajemen industri juga harus mempertimbangkan bentuk pendekatan positif dan seperangkat peraturan yang mendorong karyawan untuk berperilaku aktif dalam program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pendekatan positif dapat berupa insentif atas prestasi daripada hukuman atas sebuah pelanggaran. Meskipun tidak meniadakan pola hukuman (punishment), namun secara bertahap pendekatan positif yang mendorong karyawan berperilaku aman, memberikan prestasi dan berperan aktif dalam program pencegahan kecelakaan haruslah dijalankan. Sehingga pesan yang diterima oleh karyawan adalah manajemen lebih mendorong karyawan untuk berperilaku aman dan lebih berprestasi.

Pada sebuah studi kasus di suatu perusahaan, manajemen memberikan insentif Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada karyawan yang tidak mengalami kecelakaan kerja, dimaksudkan untuk mengurangi angka kecelakaan kerja dan mendorong karyawan untuk berperilaku lebih aman. Pada sisi pelaksanaan, ternyata memunculkan 2 perilaku yang pada akhirnya kedua perilaku ini berujung pada didapatnya insentif Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ini.

Perilaku pertama yang ditunjukkan adalah karyawan termotivasi untuk bekerja lebih aman, dengan menaati peraturan, prosedur kerja, lebih meluangkan waktu untuk melihat kembali potensi bahaya yang ada. Sehingga karyawan tersebut lebih aman dan lebih terhindar dari kecelakaan kerja.

Perilaku kedua adalah karyawan ternyata tidak cukup kuat untuk mengikuti peraturan, prosedur kerja dan lainnya. Adapun karyawan yang mengalami kecelakaan kerja, karyawan tersebut menyembunyikan kasus kecelakaan kerjanya supaya tidak menjadi catatan, dan karyawan tetap mendapatkan insentif Keselamatan. Sehingga pendekatan insentif pada hasil (ada tidaknya kecelakaan kerja) akan kurang efektif bagi karyawan dan manajemen untuk menekan angka kecelakaan kerja.

Dengan insentif yang sama, namun polanya diubah, akan memberikan hasil yang lebih baik. Insentif Keselamatan diberikan pada karyawan yang melakukan serangkaian program pencegahan kecelakaan kerja, seperti melakukan inspeksi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), melakukan pertemuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan target tertentu yang disepakati. Selain manajemen mendapat manfaat berupa program pencegahan kecelakaan kerja berjalan, karyawan juga mendapatkan pengetahuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dari pertemuan-pertemuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan, karyawan dapat memastikan tempat kerjanya lebih aman, peralatan kerja yang digunakan dalam kondisi baik, tentunya ketika karyawan berhasil menyelesaikan serangkaian program tersebut, karyawan akan mendapatkan insentif.

Pada studi kasus diatas menunjukkan posisi strategis manajemen industri untuk membentuk budaya K3 di dunia usaha. Sehingga pengaruh organisasi menjadi lapisan pertama untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Dan ketika serangkaian program pencegahan kecelakaan ini dilaksanakan secara konsisten, maka program yang tadinya adalah kewajiban, secara perlahan akan menjadi kebiasaan karyawan dan akan menjadi budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Penulis mengalami dimana peraturan memaksa memakai sabuk keselamatan (seatbelt) di mobil secara displin, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Aturannya jelas, tidak memakai sabuk keselamatan (seatbelt) akan didenda, dan aturan ini ditegakkan secara tegas untuk siapapun. Sehingga secara tidak sadar kewajiban memakai sabuk keselamatan (seatbelt) berubah menjadi kebiasaan dan sekarang menjadi budaya. Parameternya sederhana, pada saat masuk ke mobil, secara otomatis akan mencari sabuk keselamatan dan memakainya. Perilaku ini otomatis, tidak perlu berpikir dan tidak juga direncanakan sebelum naik mobil.

Sama halnya ketika naik atau turun tangga, apakah seseorang mencari susuran tangga? Jika hal-hal demikian secara otomatis bagian adri perilaku sehari-hari, maka ia menjadi budaya. Dan budaya-budaya inilah yang akan membentuk budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang akan menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.

Sekali lagi menegaskan peran penting manajemen dalam membentuk budaya K3 melalui aturan yang mendorong karyawan untuk berperilaku aman. Meski pada awalnya berupa sebuah keterpaksaan, selama dijalankan secara konsisten dan tegas, apda akhirnya akan berubah menjadi kebiasaan dan menjadi budaya.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan aspek yang penting dalam aktivitas dunia industri. Relativitas kadar penting tidaknya akan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) ini tergantung pada seberapa besar pengaruhnya terhadap subjek dan objek itu sendiri.  K3 menjadi wacana industri abad ini setelah ditemukannya teori – teori yang representatif yang mendukung akan improvisasi dalam konteks keselamatan dan manajemen resiko yang muncul dalam kegiatan industri yang lebih luas.
Meninjau kembali literatur – literatur yang telah dikenal dan diterapkan mengenai studi kasus dalam masalah K3 dimana kesempurnaan metoda dan penerapan yang penuh komitmen dan konsistensi  penuh dari semua pihak masih banyak diharapkan. Kendala – kendala makro seperti costibility dan understanding sering kali banyak ditemui dilapangan akan tetapi tidak berarti pula bahwa program K3 tidak berjalan, ini menuntut komitmen dan kesadaran pada masing – masing pihak.
Sebagai logika dasar tentang pentingnya pemahaman K3 dapat diilustrasikan dengan Historical perspective yaitu “Apabila seorang pembangun membangun sebuah rumah untuk seseorang dan tidak membuat konstruksi dan rumah yang ia bangun runtuh akan menyebabkan rumah tersebut rusak dan meninggal pemiliknya, ternyata pembangun bisa menyebabkan kematian”. Ini artinya bahwa dalam setiap aktivitas apapun selain perencanaan teknis fisik harus diperhatikan pula aspek – aspek keamanan yang terkait langsung  maupun tidak langsung.
Walaupun hakekat  bahaya bersifat labil dan tidak bisa direncanakan akan tetapi setidaknya dengan program K3 membantu dalam menjamin peminimalisasian bahaya dan manajemen resiko. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap dinamika industri.

Tujuan dari penerapan K3 dalam suatu industri adalah :
1.      Menerapkan peraturan pemerintah UUD 1945 pasal 27 ayat 2, UU No. 14 Tahun 1969 pasal 9 & 10 Tentang pokok – pokok Ketenagakerjaan, dan UU No. 1 Tahun 1970 Tentang keselematan kerja
2.      Menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manjemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintregasi, dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan, dan penyakit akibat kerja, serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif (SMK3, pasal 2 ).
Sebelum tahun 1911, tentang keselamatan kerja dalam industri hampir tidak diperhatikan. Pekerja tidak dilindungi dengan hukum. Tidak ada santunan kecelakaan bagi pekerja. Bila terjadi kecelakaan, perusahaan menganggap bahwa kecelakaan itu :
1.    Disebabkan oleh kesalahan tenaga kerja (karyawan) sendiri.
2.    Disebabkan teman sekerja sehingga ia (pekerja) mengalami kecelakaan.
3.    Tanggungan pekerja, karena menganggap perusahaan merasa sudah membayar           (menggaji) maka resiko kecelakaan menjadi tanggungan pekerja.
4.    Karena pekerja mengalami kelalaian, sehingga terjadi kecelakaan.
Pada tahun 1908 di New York, dilakukan kompensasi pertama bagi pekerja yang mengalami kecelakaan. Setelah tahun 1911, pekerja mendapat kompensasi Penyakit Akibat Kerja (PAK). Bila disebabkan terkena panas (atmosphere) seharusnya panas dalam industri diberi pelindung (safety) dan inilah yang  menghasilkan dasar pemikiran mengenai perkembangan teknologi safety dan sanitasi industri.
Perkembangan terkini mengenai K3 sebagai integrasi dari ISO 9001 : 2000 (Quality) dan  ISO 14001 : 1996 (Enviromental) yang diterapkan diseluruh Negara didunia adalah dengan munculnya berbagai macam sistem keamanan dan keselamatan kerja yang disesuaikan dan diselaraskan dengan kebutuhan dan compatibility dari jenis dan lingkungan di industri masing – masing Negara tersebut, misalnya :
1.      NSC (USA)
2.      SAFETY MAP (Australia)
3.      SMK3 (Indonesia)
4.      British standard 8800 Guide to OH&SMS (Inggris)
5.      SGS Yarsley ICS & ISMOL ISA 2000 Requirements for S&HMS (Swiss)
6.      National Standard Authority of Ireland (Irlandia)
7.      Det Norske Veritas Standard for Certification of  OH&SMS (Holland)
8.      South African Bureau of Standard (Afrika Selatan)
9.      SIRIM QAS Sdn. Bhd. (Malaysia)
10.  OHSAS 18001 dsb.
Keselamatan (safety) adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menghilangkan/ mengontrol resiko yang tidak bisa diterima. Ketidakberterimaan awalnya berasal dari bahaya,. Bahaya adalah suatu keadaan yang berpotensi untuk terjadinya kecelakaan dan kerugian.
Potensi bahaya dapat berasal dari mesin – mesin, pesawat, alat kerja, dan bahan – bahan serta energi, dari lingkungan kerja, sifat pekerjaan dan proses produksi yang beresiko akan munculnya bahaya. Faktor – faktor sumber bahaya adalah :
1.         Faktor fisik
2.         Faktor kimia
3.         Faktor biologi
4.         Faktor fisiologi
5.         Faktor psikologi
Resiko adalah kesempatan untuk terjadinya kecelakaan atau kerugian, juga kemungkinan dari akibat dan kemungkinan bahaya tertentu. Sumber – sumber resiko adalah:

1.      Perubahan
2.      Produk
3.      Kekayaan dan bahan baku
4.      Prosedur dan aktivitas proses
5.      Teknologi dan peralatan
6.      Personel
7.      Tempat kerja dan lingkungan
8.      Lingkungan alam, keadaan iklim
9.      Eksternal/pihak – pihak yang terkait

            Keselamatan ini mencakup akan semua aspek, bisa melalui Manusia, Metode, Mesin   (alat), atau Lingkungan. Untuk keselamatan, manusia dibekali dengan pengetahuan tentang perlengkapan dalam kegiatan kerjanya dengan melalui intruksi kerja aman atau Prosedur standar. Metode yang representative dan compatible juga mampu mendatangkan keselamatan.
            Sedangkan mesin (alat) memerlukan suatu aksesoris khusus dalam menunjang kerjanya  agar mampu beroperasi secara aman tanpa mengurangi fungsi aslinya dengan  sedikit sentuhan teknologi tidak menutup kemungkinan alat penunjang tersebut dalam keadaan tertentu bisa sangat penting sekali eksistensinya, ini dapat kita maksudkan dengan Alat Pelindung Diri (Personal Protective Equipment) yang diselaraskan dengan fungsi dan jenis bahaya yang sudah disarankan penggunaannya yang efektif . Untuk lingkungan tergantumg pada pengaturan tata letak dan fungsi dalam manajemen yang efektif dan efisien.
        Kesehatan (Health) adalah  derajat/tingkat keadaan fisik dan spikologi individu. Kesehatan ini sangat besar sekali andilnya dalam hal keselamatan dan kecelakaan kerja. Ini dikaitkan dengan kondisi fisiologis dari manusia, seperti contoh :
1.         Ketidakseimbangan fisik/kemampuan fisik tenaga kerja, antara lain :
· Tidak sesuai berat badan, kekuatan dan jangkauan.
· Posisi tubuh yang dapat menyebabkan mudah lemah
· Kepekaan tubuh
· Kepekaan panca indera terhadap bunyi
· Cacat fisik
· Cacat sementara
2.         Ketidakseimbangan kemampuan psikologis tenaga kerja, antara lain :
· Rasa takut / phobia
· Gangguan emosional
· Sakit jiwa
· Tingkat kecakapan
· Tidak mampu memahami
· Sedikit ide (pendapat)
· Gerakannya lamban
· Ketrampilan kurang.

3.         Stres mental, antara lain :
· Emosi berlebihan
· Beban mental berlebihan
· Pendiam dan tertutup
· Problem sesuatu yang tidak dipahami
· Frustasi
· Sakit mental

4.               Stres Fisik, antara lain :
· Badan sakit ( tidak sehat badan )
· Beban tugas berlebihan
· Kurang istirahat
· Kelelahan sensori
· Terpapar bahan
· Terpapar panas yang tinggi
· Kekurangan oksigen
· Gerakan terganggu
· Gula darah menurun

   Gangguan – gangguan kesehatan akibat reaksi fisikokimia (terbakar, luka, terkena bahan kimia, dsb.) dalam industri sangat sering kali terjadi dan penyumbang paling banyak dalam catatan kecelakaan kerja ini menuntut suatu transformasi teknologi klompementer yang aman dan ramah lingkungan.
Kecelakaan (Accident) adalah kejadian yang tidak diinginkan yang dapat mengakibatkan, luka pada manusia, kerusakan harta benda, kerugian pada proses atau terjadinya kontak dengan suatu benda atau sumber tenaga yang lebih dari daya tahan tubuh atau struktur. Kecelakaan ini dibedakan menjadi
1.      Lost Time Injure (LTI) yaitu Cidera yang mengakibatkan hilangnya waktu kerja.
2.      Restricted Duties Injure (RDI) yaitu Cidera yang mengakibatkan Kerja menjadi terbatas.
3.      Medical Treatment Injure (MTI) yaitu Cidera yang memerlukan bantuan petugas kesehatan )
4.      First Aid Injure (FAI) yaitu Cidera yang memerlukan P3K

Sumber: http://smk3ae.wordpress.com/2008/06/16/keselamatan-dan-kesehatan-kerja-industri/
Sumber : http://www.majalahdermaga.com/articles/2013/01/19/pengelolaan-budaya-keselamatan-dan-kesehatan-kerja-k3-di-industri