Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.
budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut
menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan
meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dalam pembahasan budaya, setiap
ilmuwan berbeda dalam hal definisi. Namun satu hal yang pasti adalah budaya
adalah kumpulan dari karya manusia untuk memanusiakan manusia. Sehingga tujuan
budaya itu sendiri adalah menjunjung tinggi hakekat manusia dan kemanusiaan
yang menyertainya.
Menyambut peringatan Bulan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) Nasional pada 12 Januari s.d. 12 Pebruari 2013 yang
dicanangkan pemerintah, tema besar yang diusung adalah BUDAYAKAN K3 DISETIAP
KEGIATAN USAHA MENUJU MASYARAKAT INDUSTRI YANG SELAMAT, SEHAT DAN PRODUKTIF.
Dalam konteks pembahasan budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) inilah,
pemahaman kembali atas budaya kita menjadi penting. Budaya yang mengajari kita
untuk menghargai kemanusiaan dan menyelamatkan setiap nyawa. Sebagaimana amanat
pada Undang Undang Dasar kita yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Jika kita membaca data kecelakaan lalu lintas
yang disajikan pemerintah dalam liburan akhir tahun 2012, dan disitulah kita
membaca makna budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Bahwa angka kecelakaan
itu bukanlah sekedar angka, namun menyangkut bagaimana kita bisa menyelamatkan
manusia. Semua kecelakaan dapat dicegah, dan semua berpulang kepada kemauan
kita untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan, termasuk kecelakaan lalu
lintas.
Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
perlu ditingkatkan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat termasuk pada dunia
industri. Sebagaimana tema 2013 dari kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) haruslah menjadi bagian dari setiap
kegiatan industri dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam manajemen
pada setiap industri. Pemerintah telah mencanangkan Indonesia Berbudaya K3
tahun 2015 melalui serangkaian agenda. Diantaranya revitalisasi Dewan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional, melakukan pentahapan tema
peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional yang diperingati
setiap 12 Januari setiap tahun selama satu bulan.
Dimulai tahun 2010, pemerintah mencanangkan
GELORAKAN GEMA DAYA K3 DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT. Lebih berfokus pada
pembentukan basis budaya di masyarakat sebagai komponen utama dalam dunia
usaha. Sehingga diharapkan pelaku-pelaku industri sudah memahami arti penting
budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Kemudian pada 2011, tema peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) Nasional adalah TINGKATKAN PELAKSANAAN GEMA DAYA K3 UNTUK MENDUKUNG
DAYA SAING USAHA DALAM GLOBALISASI. Maka budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam industri untuk menaikkan daya
saing industri. Pada 2012 yang baru saja dilalui, tema yang diusung adalah
OPTIMALISASI PENERAPAN SMK3 UNTUK PENINGKATAN MUTU KERJA DAN PRODUKTIVITAS.
Dengan mudah kita melihat budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam
dunia usaha yang bertujuan untuk peningkatan produktifitas kerja.
Pertanyaan besar di dunia usaha adalah,
apakah tujuan dari pentahapan tersebut sudah tercapai? Bagaimanapun, terlepas
dari ketidak tersediaan data, budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
secara kualitatif masih jauh dari harapan tersebut. Sebut saja sejumlah
kecelakaan kerja yang berujung kematian karyawan yang semestinya bisa dicegah.
Kembali lagi kepada prinsip bahwa semua kecelakaan dapat dicegah, setiap
kecelakaan bermula dari sebuah budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang
tidak terjadi dengan baik dan benar.
Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
dalam dunia usaha, harus dimulai dari pemilik usaha, manajemen yang memimpin
dan mengendalikan industri. Sebagaimana teori sebab akibat kecelakaan yang
diajukan oleh James Reason, atau lebih dikenal dengan Swiss cheese theory,
lapisan pertama penyebab kecelakaan adalah pengaruh organisasi (organizational
influence). Sehingga peran penting manajemen dan pemilik industri sangat
dominan dalam membentuk budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk
mencegah terjadinya kecelakaan.
Disini fungsi manajemen dan pemilik industri
untuk membangun budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi karyawan. Dimulai
dari seperangkat prosedur kerja yang mempertimbangkan aspek Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, tanggung jawab yang jelas pada setiap karyawan dan target yang
harus dipenuhi.
Prosedur kerja yang mempertimbangkan aspek
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) akan memberikan panduan bekerja secara
aman bagi karyawan. Maka karyawan secara tidak langsung sudah melakukan
karyawanan dengan aman, selama karyawan mengikuri prosedur tersebut. Prosedur
ini akan menjadi kesepakatan untuk menilai apakah karyawan melakukan karyawanan
dengan baik dan aman atau tidak. Sehingga juga didapatkan sebuah pengukuran
proses atas sebuah karyawanan pada sisi proses dan cara kerja.
Masih terkait dengan prosedur, maka karyawan
perlu mendapatkan sebuah batasan tanggung jawab pada sebuah karyawanan.
Sehingga karyawan merasa aman dan nyaman untuk melakukan karyawanan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kepastian akan tanggung jawab akan memberikan rasa
kepastian bagi karyawan untuk mengatur ritme kerja dan alokasi waktu untuk
memenuhi prosedur kerja. Sehingga karyawan didorong untuk bekerja lebih
produktif dalam lingkup tanggung jawabnya.
Karyawan perlu mendapatkan target yang jelas
atas capaian karyawanannya. Selain pemilik industri atau manajemen industri
dapat melakukan pengukuran keberhasilan atas karyawanan yang dilakukan,
karyawan juga akan mempunyai rekam jejak keberhasilan dan akan menjadi catatan
tersendiri atas prestasi dan pengakuan yang diberikan. Maka karyawan akan
berusaha memberikan usaha yang terbaik untuk menyelesaikan karyawanan, jika
target tersebut cukup realistis dan cukup jelas.
Dengan demikian setiap karyawan akan
melakukan karyawanan secara terarah dan berdedikasi untuk bekerja lebih aman,
lebih baik, yang pada ujungnya akan meningkatkan produktifitas kerja.
Dalam
pelaksanaan beberapa hal di atas, manajemen industri juga harus
mempertimbangkan bentuk pendekatan positif dan seperangkat peraturan yang
mendorong karyawan untuk berperilaku aktif dalam program Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3). Pendekatan positif dapat berupa insentif atas prestasi
daripada hukuman atas sebuah pelanggaran. Meskipun tidak meniadakan pola
hukuman (punishment), namun secara bertahap pendekatan positif yang mendorong
karyawan berperilaku aman, memberikan prestasi dan berperan aktif dalam program
pencegahan kecelakaan haruslah dijalankan. Sehingga pesan yang diterima oleh
karyawan adalah manajemen lebih mendorong karyawan untuk berperilaku aman dan
lebih berprestasi.
Pada sebuah studi kasus di suatu perusahaan,
manajemen memberikan insentif Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada
karyawan yang tidak mengalami kecelakaan kerja, dimaksudkan untuk mengurangi
angka kecelakaan kerja dan mendorong karyawan untuk berperilaku lebih aman.
Pada sisi pelaksanaan, ternyata memunculkan 2 perilaku yang pada akhirnya kedua
perilaku ini berujung pada didapatnya insentif Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) ini.
Perilaku pertama yang ditunjukkan adalah
karyawan termotivasi untuk bekerja lebih aman, dengan menaati peraturan,
prosedur kerja, lebih meluangkan waktu untuk melihat kembali potensi bahaya
yang ada. Sehingga karyawan tersebut lebih aman dan lebih terhindar dari kecelakaan
kerja.
Perilaku kedua adalah karyawan ternyata tidak
cukup kuat untuk mengikuti peraturan, prosedur kerja dan lainnya. Adapun
karyawan yang mengalami kecelakaan kerja, karyawan tersebut menyembunyikan
kasus kecelakaan kerjanya supaya tidak menjadi catatan, dan karyawan tetap
mendapatkan insentif Keselamatan. Sehingga pendekatan insentif pada hasil (ada
tidaknya kecelakaan kerja) akan kurang efektif bagi karyawan dan manajemen
untuk menekan angka kecelakaan kerja.
Dengan insentif yang sama, namun polanya
diubah, akan memberikan hasil yang lebih baik. Insentif Keselamatan diberikan
pada karyawan yang melakukan serangkaian program pencegahan kecelakaan kerja,
seperti melakukan inspeksi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), melakukan
pertemuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan target tertentu yang
disepakati. Selain manajemen mendapat manfaat berupa program pencegahan
kecelakaan kerja berjalan, karyawan juga mendapatkan pengetahuan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3) dari pertemuan-pertemuan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) yang dilakukan, karyawan dapat memastikan tempat kerjanya lebih
aman, peralatan kerja yang digunakan dalam kondisi baik, tentunya ketika
karyawan berhasil menyelesaikan serangkaian program tersebut, karyawan akan
mendapatkan insentif.
Pada studi kasus diatas menunjukkan posisi
strategis manajemen industri untuk membentuk budaya K3 di dunia usaha. Sehingga
pengaruh organisasi menjadi lapisan pertama untuk mencegah terjadinya
kecelakaan kerja. Dan ketika serangkaian program pencegahan kecelakaan ini
dilaksanakan secara konsisten, maka program yang tadinya adalah kewajiban,
secara perlahan akan menjadi kebiasaan karyawan dan akan menjadi budaya
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Penulis
mengalami dimana peraturan memaksa memakai sabuk keselamatan (seatbelt) di
mobil secara displin, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Aturannya jelas,
tidak memakai sabuk keselamatan (seatbelt) akan didenda, dan aturan ini
ditegakkan secara tegas untuk siapapun. Sehingga secara tidak sadar kewajiban
memakai sabuk keselamatan (seatbelt) berubah menjadi kebiasaan dan sekarang
menjadi budaya. Parameternya sederhana, pada saat masuk ke mobil, secara
otomatis akan mencari sabuk keselamatan dan memakainya. Perilaku ini otomatis,
tidak perlu berpikir dan tidak juga direncanakan sebelum naik mobil.
Sama
halnya ketika naik atau turun tangga, apakah seseorang mencari susuran tangga?
Jika hal-hal demikian secara otomatis bagian adri perilaku sehari-hari, maka ia
menjadi budaya. Dan budaya-budaya inilah yang akan membentuk budaya Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3) yang akan menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.
Sekali
lagi menegaskan peran penting manajemen dalam membentuk budaya K3 melalui
aturan yang mendorong karyawan untuk berperilaku aman. Meski pada awalnya
berupa sebuah keterpaksaan, selama dijalankan secara konsisten dan tegas, apda
akhirnya akan berubah menjadi kebiasaan dan menjadi budaya.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
merupakan aspek yang penting dalam aktivitas dunia industri. Relativitas kadar
penting tidaknya akan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) ini tergantung pada
seberapa besar pengaruhnya terhadap subjek dan objek itu sendiri. K3
menjadi wacana industri abad ini setelah ditemukannya teori – teori yang
representatif yang mendukung akan improvisasi dalam konteks keselamatan dan
manajemen resiko yang muncul dalam kegiatan industri yang lebih luas.
Meninjau kembali literatur
– literatur yang telah dikenal dan diterapkan mengenai studi kasus dalam
masalah K3 dimana kesempurnaan metoda dan penerapan yang penuh komitmen dan
konsistensi penuh dari semua pihak masih banyak diharapkan. Kendala –
kendala makro seperti costibility dan understanding sering kali banyak ditemui
dilapangan akan tetapi tidak berarti pula bahwa program K3 tidak berjalan, ini
menuntut komitmen dan kesadaran pada masing – masing pihak.
Sebagai logika dasar tentang pentingnya pemahaman K3
dapat diilustrasikan dengan Historical perspective yaitu “Apabila seorang
pembangun membangun sebuah rumah untuk seseorang dan tidak membuat konstruksi
dan rumah yang ia bangun runtuh akan menyebabkan rumah tersebut rusak dan
meninggal pemiliknya, ternyata pembangun bisa menyebabkan kematian”. Ini
artinya bahwa dalam setiap aktivitas apapun selain perencanaan teknis fisik
harus diperhatikan pula aspek – aspek keamanan yang terkait langsung
maupun tidak langsung.
Walaupun hakekat
bahaya bersifat labil dan tidak bisa direncanakan akan tetapi setidaknya dengan
program K3 membantu dalam menjamin peminimalisasian bahaya dan manajemen
resiko. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap dinamika industri.
Tujuan dari penerapan K3 dalam suatu industri adalah :
1. Menerapkan peraturan
pemerintah UUD 1945 pasal 27 ayat 2, UU No. 14 Tahun 1969 pasal 9 & 10
Tentang pokok – pokok Ketenagakerjaan, dan UU No. 1 Tahun 1970 Tentang
keselematan kerja
2. Menciptakan suatu sistem
keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur
manjemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintregasi, dalam
rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan, dan penyakit akibat kerja, serta
terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif (SMK3, pasal 2 ).
Sebelum tahun 1911, tentang
keselamatan kerja dalam industri hampir tidak diperhatikan. Pekerja tidak
dilindungi dengan hukum. Tidak ada santunan kecelakaan bagi pekerja. Bila
terjadi kecelakaan, perusahaan menganggap bahwa kecelakaan itu :
1. Disebabkan oleh kesalahan tenaga
kerja (karyawan) sendiri.
2. Disebabkan teman sekerja sehingga ia
(pekerja) mengalami kecelakaan.
3. Tanggungan pekerja, karena
menganggap perusahaan merasa sudah
membayar (menggaji)
maka resiko kecelakaan menjadi tanggungan pekerja.
4. Karena pekerja mengalami kelalaian,
sehingga terjadi kecelakaan.
Pada tahun 1908 di New
York, dilakukan kompensasi pertama bagi pekerja yang mengalami kecelakaan.
Setelah tahun 1911, pekerja mendapat kompensasi Penyakit Akibat Kerja (PAK).
Bila disebabkan terkena panas (atmosphere) seharusnya panas dalam
industri diberi pelindung (safety) dan inilah yang menghasilkan
dasar pemikiran mengenai perkembangan teknologi safety dan sanitasi industri.
Perkembangan terkini
mengenai K3 sebagai integrasi dari ISO 9001 : 2000 (Quality) dan
ISO 14001 : 1996 (Enviromental) yang diterapkan diseluruh Negara didunia
adalah dengan munculnya berbagai macam sistem keamanan dan keselamatan kerja
yang disesuaikan dan diselaraskan dengan kebutuhan dan compatibility
dari jenis dan lingkungan di industri masing – masing Negara tersebut, misalnya
:
1. NSC (USA)
2. SAFETY MAP (Australia)
3. SMK3 (Indonesia)
4. British standard 8800
Guide to OH&SMS (Inggris)
5. SGS Yarsley ICS &
ISMOL ISA 2000 Requirements for S&HMS (Swiss)
6. National Standard
Authority of Ireland (Irlandia)
7. Det Norske Veritas
Standard for Certification of OH&SMS (Holland)
8. South African Bureau of
Standard (Afrika Selatan)
9. SIRIM QAS Sdn. Bhd.
(Malaysia)
10. OHSAS 18001 dsb.
Keselamatan (safety)
adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menghilangkan/ mengontrol resiko
yang tidak bisa diterima. Ketidakberterimaan awalnya berasal dari bahaya,.
Bahaya adalah suatu keadaan yang berpotensi untuk terjadinya kecelakaan dan
kerugian.
Potensi bahaya dapat
berasal dari mesin – mesin, pesawat, alat kerja, dan bahan – bahan serta
energi, dari lingkungan kerja, sifat pekerjaan dan proses produksi yang
beresiko akan munculnya bahaya. Faktor – faktor sumber bahaya adalah :
1. Faktor
fisik
2. Faktor
kimia
3. Faktor
biologi
4. Faktor
fisiologi
5. Faktor
psikologi
Resiko adalah kesempatan untuk terjadinya kecelakaan atau
kerugian, juga kemungkinan dari akibat dan kemungkinan bahaya tertentu. Sumber
– sumber resiko adalah:
1. Perubahan
2. Produk
3. Kekayaan dan bahan baku
4. Prosedur dan aktivitas
proses
5. Teknologi dan peralatan
6. Personel
7. Tempat kerja dan
lingkungan
8. Lingkungan alam, keadaan
iklim
9. Eksternal/pihak – pihak
yang terkait
Keselamatan ini mencakup akan semua aspek, bisa
melalui Manusia, Metode, Mesin (alat), atau Lingkungan. Untuk
keselamatan, manusia dibekali dengan pengetahuan tentang perlengkapan dalam
kegiatan kerjanya dengan melalui intruksi kerja aman atau Prosedur standar.
Metode yang representative dan compatible juga mampu mendatangkan keselamatan.
Sedangkan mesin (alat) memerlukan suatu aksesoris khusus dalam menunjang
kerjanya agar mampu beroperasi secara aman tanpa mengurangi fungsi
aslinya dengan sedikit sentuhan teknologi tidak menutup kemungkinan alat
penunjang tersebut dalam keadaan tertentu bisa sangat penting sekali
eksistensinya, ini dapat kita maksudkan dengan Alat Pelindung Diri (Personal
Protective Equipment) yang diselaraskan dengan fungsi dan jenis bahaya yang
sudah disarankan penggunaannya yang efektif . Untuk lingkungan tergantumg pada
pengaturan tata letak dan fungsi dalam manajemen yang efektif dan efisien.
Kesehatan (Health) adalah derajat/tingkat keadaan fisik dan
spikologi individu. Kesehatan ini sangat besar sekali andilnya dalam hal
keselamatan dan kecelakaan kerja. Ini dikaitkan dengan kondisi fisiologis dari
manusia, seperti contoh :
1. Ketidakseimbangan
fisik/kemampuan fisik tenaga kerja, antara lain :
· Tidak sesuai berat badan, kekuatan dan jangkauan.
· Posisi tubuh yang dapat menyebabkan mudah lemah
· Kepekaan tubuh
· Kepekaan panca indera terhadap bunyi
· Cacat fisik
· Cacat sementara
2.
Ketidakseimbangan kemampuan psikologis tenaga kerja, antara lain :
· Rasa takut / phobia
· Gangguan emosional
· Sakit jiwa
· Tingkat kecakapan
· Tidak mampu memahami
· Sedikit ide (pendapat)
· Gerakannya lamban
· Ketrampilan kurang.
3. Stres
mental, antara lain :
· Emosi berlebihan
· Beban mental berlebihan
· Pendiam dan tertutup
· Problem sesuatu yang tidak dipahami
· Frustasi
· Sakit mental
4.
Stres Fisik, antara lain :
· Badan sakit ( tidak sehat badan )
· Beban tugas berlebihan
· Kurang istirahat
· Kelelahan sensori
· Terpapar bahan
· Terpapar panas yang tinggi
· Kekurangan oksigen
· Gerakan terganggu
· Gula darah menurun
Gangguan –
gangguan kesehatan akibat reaksi fisikokimia (terbakar, luka, terkena bahan
kimia, dsb.) dalam industri sangat sering kali terjadi dan penyumbang paling
banyak dalam catatan kecelakaan kerja ini menuntut suatu transformasi teknologi
klompementer yang aman dan ramah lingkungan.
Kecelakaan (Accident)
adalah kejadian yang tidak diinginkan yang dapat mengakibatkan, luka pada
manusia, kerusakan harta benda, kerugian pada proses atau terjadinya kontak
dengan suatu benda atau sumber tenaga yang lebih dari daya tahan tubuh atau
struktur. Kecelakaan ini dibedakan menjadi
1. Lost Time Injure
(LTI) yaitu Cidera yang mengakibatkan hilangnya waktu kerja.
2. Restricted Duties
Injure (RDI) yaitu Cidera yang mengakibatkan Kerja menjadi terbatas.
3. Medical Treatment
Injure (MTI) yaitu Cidera yang memerlukan bantuan petugas kesehatan )
4. First Aid Injure
(FAI) yaitu Cidera yang memerlukan P3K
Sumber:
http://smk3ae.wordpress.com/2008/06/16/keselamatan-dan-kesehatan-kerja-industri/
Sumber :
http://www.majalahdermaga.com/articles/2013/01/19/pengelolaan-budaya-keselamatan-dan-kesehatan-kerja-k3-di-industri
0 komentar:
Posting Komentar